3# Terjemah Qut al-Habib al-Gharib - Tausyih ‘ala Fath al-Qarib al-Mujib Karya Imam Nawawi al-Bantani قوت الحبيب الغريب توشيح على فتح القريب المجيب شرح غاية التقريب لمحمد نووي بن عمر الجاوي البنتني
قوت الحبيب الغريب توشيح على فتح القريب المجيب شرح غاية التقريب لمحمد نووي بن عمر الجاوي البنتني |
Fath al-Qarib al-Mujib:
(بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ
الرَّحِيمِ) أَبْتَدِئُ
كِتَابِي هَٰذَا، وَاللَّهُ اسْمٌ لِلذَّاتِ الْوَاجِبِ الْوُجُودِ،
وَالرَّحْمَٰنُ أَبْلَغُ مِنَ الرَّحِيمِ. (الْحَمْدُ لِلَّهِ) هُوَ الثَّنَاءُ
عَلَى اللَّهِ تَعَالَى بِالْجَمِيلِ عَلَى جِهَةِ التَّعْظِيمِ. (رَبِّ) أَيْ
مَالِك (الْعَالَمِينَ) بِفَتْحِ اللَّامِ، وَهُوَ كَمَا قَالَ ابْنُ مَالِكٍ
اسْمُ جَمْعٍ خَاصٍّ بِمَنْ يَعْقِلُ لَا جَمْعٌ، وَمُفْرَدُهُ عَالَمٌ بِفَتْحِ
اللَّامِ، لِأَنَّهُ اسْمٌ عَامٌّ لِمَا سِوَى اللَّهِ تَعَالَى، وَالْجَمْعُ
خَاصٌّ بِمَنْ يَعْقِلُ.
(Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang) Saya memulai kitabku ini. Allah adalah nama bagi Dzat yang wajib
ada. Lafadz ‘Ar-Rahman’ -Yang Maha Pengasih- lebih luas cakupannya daripada
lafadz ‘Ar-Rahim’ -Yang Maha Penyayang-. (Segala Puji hanya bagi Allah) adalah
pujian kepada Allah Ta’ala atas segala keindahan dengan tujuan
mengagungkan-Nya. (Tuhan) berarti pemilik/penguasa (Seluruh Alam) -lafadz
al-‘Alamin- dengan fathah pada huruf lam, sebagaimana yang
dikatakan oleh Ibnu Malik, adalah bentuk ‘isim jamak’ yang merujuk
khusus pada makhluk yang berakal, bukan jamak biasa. Bentuk tunggalnya adalah 'Alam
dengan fathah pada huruf lam, karena ‘Alam adalah ‘isim’
umum untuk segala sesuatu selain Allah Ta'ala. Adapun bentuk jamaknya khusus
untuk makhluk yang berakal.
(وَصَلَّى
اللَّهُ وَسَلَّمَ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ) هُوَ بِالْهَمْزِ
وَتَرْكِهِ، إِنْسَانٌ أُوحِيَ إِلَيْهِ بِشَرْعٍ يَعْمَلُ بِهِ، وَإِنْ لَمْ
يُؤْمَرْ بِتَبْلِيغِهِ، فَإِنْ أُمِرَ بِتَبْلِيغِهِ فَنَبِيٌّ وَرَسُولٌ أَيْضًا.
وَالْمَعْنَى: يُنْشِئُ الصَّلَاةَ وَالسَّلَامَ عَلَيْهِ، وَمُحَمَّدٌ عَلَمٌ
مَنْقُولٌ مِنْ اسْمِ مَفْعُولٍ الْمُضَعَّفِ الْعَيْنِ، وَالنَّبِيُّ بَدَلٌ
مِنْهُ أَوْ عَطْفُ بَيَانٍ عَلَيْهِ.
(Semoga Allah melimpahkan rahmat dan kesejahteraan kepada junjungan
kita Nabi Muhammad) lafadz Nabi, bisa menggunakan hamzah atau tidak –Nabiyun/Nabi’un.
Nabi adalah manusia yang menerima wahyu berupa syariat untuk diamalkan,
meskipun tidak diperintahkan untuk menyampaikannya. Jika diperintahkan untuk
menyampaikannya, maka dia adalah Nabi sekaligus Rasul. Artinya, menyampaikan
shalawat kepada Nabi –semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepadanya-.
Muhammad adalah nama diri (isim ‘alam) yang diambil dari isim maf’ul
dengan ‘ain fi’ilnya didobelkan, dan lafadz Nabi adalah badal
(pengganti) atau athaf bayan (keterangan tambahan) bagi lafadz Muhammad.
(وَ) عَلَى (آلِهِ
الطَّاهِرِينَ)، هُمْ كَمَا قَالَ الشَّافِعِيُّ أَقَارِبُهُ الْمُؤْمِنُونَ مِنْ
بَنِي هَاشِمٍ، وَبَنِي الْمُطَّلِبِ، وَقِيلَ وَاخْتَارَهُ النَّوَوِيُّ:
إِنَّهُمْ كُلُّ مُسْلِمٍ. وَلَعَلَّ قَوْلَهُ الطَّاهِرِينَ مُنْتَزَعٌ مِنْ
قَوْلِهِ تَعَالَى: (وَيُطَهِّرْكُمْ تَطْهِيرًا) [الْأَحْزَابِ: 33]. (وَ) عَلَى (صَحَابَتِهِ)
جَمْعُ صَاحِبِ النَّبِيِّ، وَقَوْلُهُ (أَجْمَعِينَ) تَأْكِيدٌ لِصَحَابَتِهِ.
(Dan) -Shalawat dan salam juga semoga tercurahkan- (atas
keluarganya yang suci), sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafi’i, mereka
adalah kerabatnya yang beriman dari Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Ada juga
yang mengatakan, dan pendapat ini dipilih oleh Imam Nawawi, bahwa mereka adalah
setiap muslim. Mungkin kata ‘thaahiriin’ (yang suci) diambil dari firman
Allah Ta'ala: “Dan -Sesungguhnya Allah hendak- menyucikan kamu sesuci-sucinya
(wahai ahl al-bait)” (QS. Al-Ahzab: 33). (Dan) -Shalawat dan salam juga
semoga tercurahkan- (atas para sahabatnya), bentuk jamak dari 'sahabat'
Nabi. Kata 'ajma'in’ (seluruhnya) adalah penegasan bagi kata 'sahabatnya'.
ثُمَّ ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ أَنَّهُ
مَسْئُولٌ فِي تَصْنِيفِ هَٰذَا الْمُخْتَصَرِ بِقَوْلِهِ: (سَأَلَنِي بَعْضُ
الْأَصْدِقَاءِ) جَمْعُ صَدِيقٍ. وَقَوْلُهُ: (حَفِظَهُمُ اللَّهُ تَعَالَى)
جُمْلَةٌ دُعَائِيَّةٌ. (أَنْ أَعْمَلَ مُخْتَصَرًا) هُوَ مَا قَلَّ لَفْظُهُ
وَكَثُرَ مَعْنَاهُ (فِي الْفِقْهِ) هُوَ لُغَةً الْفَهْمُ، وَاصْطِلَاحًا
الْعِلْمُ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبِ مِنْ
أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيلِيَّةِ.
Kemudian penulis menyebutkan bahwa dia diminta untuk menyusun ringkasan ini dengan mengatakan: “(Beberapa teman memintaku)” bentuk jamak dari 'sadiq', -teman-. Dan ucapannya: “(Semoga Allah menjaga mereka)”, adalah kalimat doa. –meminta- “(Untuk membuat ringkasan)” mukhtashar adalah kitab yang ringkas kata-katanya namun luas maknanya. “(dalam bidang fikih)” fiqh secara bahasa berarti pemahaman, secara istilah adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat yang bersifat praktis, yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Qut al-Habib al-Gharib - Tausyih ‘Ala Fath al-Qarib al-Mujib:
(بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ أَبْتَدِئُ كِتَابِي هَذَا) أَيْ لَا بِغَيْرِهِ (وَاللَّهُ
اسْمٌ لِلذَّاتِ) أَيِ الْبحْثِ أَيْ عَلَمٌ عَلَى الْفَرْدِ الْخَالِقِ
لِلْعَالَمِ بِقَطْعِ النَّظَرِ عَنِ الصِّفَاتِ (الْوَاجِبِ الْوُجُودِ) أَيْ لَا
يَجُوزُ عَلَى ذَلِكَ الْفَرْدِ الْعَدَمُ، فَلَا يَسْبِقُهُ عَدَمٌ وَلَا
يَلْحَقُهُ عَدَمٌ (وَالرَّحْمَنُ أَبْلَغُ مِنَ الرَّحِيمِ) أَيْ أَعْظَمُ
مَعْنًى مِنْ مَعْنَى الرَّحِيمِ، لِأَنَّ مَعْنَى الرَّحْمَنِ الْمُنْعِمُ
بِجَلَائِلِ النِّعَمِ، وَمَعْنَى الرَّحِيمِ الْمُنْعِمُ بِدَقَائِقِهَا
(الْحَمْدُ لِلَّهِ هُوَ) لُغَةً (الثَّنَاءُ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى بِالْجَمِيلِ)
أَيْ ذِكْرِ أَوْصَافِهِ تَعَالَى الْجَمِيلَةِ فَالْبَاءُ لِلتَّعْدِيَةِ،
وَالْجَمِيلُ هُوَ الْمَحْمُودُ بِهِ، أَيْ هُوَ مَدْلُولُ الصِّيغَةِ، وَلَا
يُشْتَرَطُ فِيهِ اخْتِيَارٌ اتِّفَاقًا بِخِلَافِ الْمَحْمُودِ عَلَيْهِ، وَإِنْ
كَانَا فِي بَعْضِ الصُّوَرِ قَدْ يَتَّحِدَانِ حِينَئِذٍ ذَاتًا، وَيَخْتَلِفَانِ
اعْتِبَارًا فَزَيْدٌ كَرِيمٌ بِاعْتِبَارِ كَوْنِ الْكَرَمِ مَدْلُولَ الصِّيغَةِ
مَحْمُودٍ بِهِ، وَبِاعْتِبَارِ كَوْنِهِ بَاعِثًا عَلَى الْقَوْلِ مَحْمُودٍ
عَلَيْهِ بِخِلَافِ قَوْلِكَ زَيْدٌ حَسَنٌ فِي مُقَابَلَةِ جُودِهِ عَلَيْكَ
(Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Aku memulai kitabku ini) artinya bukan dengan selain-Nya. (Allah
adalah nama bagi Dzat) yang dimaksud adalah penanda bagi dzat/individu pencipta
alam semesta dengan mengenyampingkan sifat-sifat-Nya. (Yang wajib wujud)
artinya tidak mungkin bagi dzat/individu tersebut ketiadaan, maka tidak ada
ketiadaan yang mendahuluinya dan tidak ada ketiadaan yang mengikutinya. (Ar-Rahman
lebih luas daripada Ar-Rahim) artinya memiliki makna yang lebih besar daripada
makna Ar-Rahim, karena makna Ar-Rahman adalah Yang Maha Pemberi nikmat-nikmat
besar, sedangkan makna Ar-Rahim adalah Yang Maha Pemberi nikmat-nikmat yang
detail/khusus. (Segala puji bagi Allah) secara bahasa adalah (memuji Allah
Ta'ala dengan keindahan) artinya menyebutkan sifat-sifat-Nya yang indah. Maka
huruf ba (بِ)
adalah berfaidah ta’addi’ -menunjukkan makna ‘dengan’-, dan lafadz ‘al-jamil’
–keindahan- adalah ‘mahmud bih’ –alat yang digunakan untuk memuji-,
artinya ia adalah redaksi yang
ditunjuk dari kalimat pujian tersebut –kalimat pujian itu sendiri-. Tidak
disyaratkan di dalamnya adanya pilihan menurut kesepakatan ulama, berbeda
dengan ‘mahmud alaih’ -sesuatu yang mendorong seseorang untuk memuji-,
meskipun dalam beberapa keadaan keduanya (antara mahmud bih dan mahmud
‘alaih) bisa menjadi satu secara dzat –sama saja-, namun berbeda dalam
pertimbangan. Contohnya, “Zaid adalah orang yang mulia”, dengan pertimbangan
bahwa –ungkapan- ‘orang yang mulia’ adalah ‘mahmud bih’ -alat untuk
memuji-, dan bisa juga dengan pertimbangan bahwa ‘orang yang mulia’ adalah ‘mahmud
alaih’ -pendorong untuk mengatakan Zaid adalah orang yang dipuji-. Berbeda
dengan perkataanmu, “Zaid adalah orang yang tampan” –tetapi hal tersebut
diungkapkan- dalam hal membalas kebaikannya yang telah diberikan kepadamu.
(عَلَى جِهَةِ التَّعْظِيمِ)
أَيْ مَعَ جِهَةٍ هِيَ التَّعْظِيمُ وَلَوْ ظَاهِرًا بِأَنْ لَا يَصْدُرَ عَنِ
الْجَوَارِحِ مَا يُخَالِفُهُ، فَإِنْ صَدَرَ عَنْهَا ذَلِكَ كَمَا لَوْ قُلْتَ
لِزَيْدٍ أَنْتَ عَالِمٌ وَضَرَبْتَهُ بِالْقَلَمِ، فَذَلِكَ اسْتِهْزَاءٌ
وَسُخْرِيَّةٌ وَالتَّحْقِيقُ أَنَّ الشُّكْرَ لَا يَنْحَصِرُ فِي اللِّسَانِ بَلْ
يَعُمُّ الْجَنَانَ وَالْأَرْكَانَ بِأَنْ يَعْتَقِدَ أَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ
وَتَعَالَى مُعْطِي جَمِيعِ النِّعَمِ مُذْعِنًا لِذَلِكَ، أَوْ يَفْعَلَ طَاعَةً
فِي مُقَابَلَةِ النِّعْمَةِ أَوْ يَنْطِقَ بِلِسَانِهِ، فَمَتَى وُجِدَ وَاحِدٌ
مِنْ هَذِهِ الثَّلَاثَةِ أُثِيبَ عَلَيْهِ ثَوَابَ الْوَاجِبِ، وَلَوْ تَرَكَ الْجَمِيعَ
حَرُمَ، وَاعْتِقَادُ الْكُلِّ مِنَ اللَّهِ كَافٍ فِي الشُّكْرِ، وَرَدَ أَنَّ
بَعْضَ الْأَنْبِيَاءِ قَالَ: يَا رَبِّ إِذَا كَانَ حَمْدِي مِنْكَ فِيمَ
أَحْمَدُكَ؟ فَقَالَ لَهُ الْمَوْلَى: إِذَا عَلِمْتَ أَنَّ الْكُلَّ مِنِّي،
فَقَدْ رَضِيتُ بِذَلِكَ مِنْكَ شُكْرًا
-Memuji Allah- (Dengan tujuan penghormatan) artinya disertai
dengan tujuan yang merupakan penghormatan, meskipun secara lahiriah, yaitu
tidak muncul dari anggota tubuh sesuatu yang bertentangan dengannya. Jika
muncul darinya hal yang bertentangan, seperti jika Anda berkata kepada Zaid, “Anda
seorang yang berilmu”, sambil memukulnya dengan pena, maka itu adalah
ejekan dan olok-olok. Yang benar adalah bahwa rasa syukur tidak terbatas hanya pada
lisan, tetapi meliputi jiwa/hati dan raga/fisik, dengan meyakini bahwa Allah Swt
adalah Dzat pemberi semua nikmat, mengakui hal itu, atau melakukan ketaatan
sebagai balasan atas nikmat tersebut, atau mengucapkannya dengan lisan. Ketika
salah satu dari tiga hal ini -syukur dengan lisan, hati, tindakan- terwujud,
maka pelakunya akan diberi pahala yang wajib, dan jika semuanya –ketiganya- ditinggalkan,
maka menjadi haram. Meyakini bahwa segala sesuatu berasal dari Allah sudah
cukup dikategorikan bersyukur. Diriwayatkan bahwa beberapa nabi berkata: “Ya
Tuhanku, jika pujianku berasal dari-Mu, lalu dengan apa aku memuji-Mu?”
Maka Allah menjawab: “Jika engkau mengetahui bahwa segala sesuatu berasal
dari-Ku, maka Aku telah ridha dengan hal itu darimu sebagai bentuk syukur –kepada-Ku-”.
(رَبِّ أَيْ مَالِكِ
الْعَالَمِينَ) وَجَامِعِهِمْ وَمُصْلِحِهِمْ (بِفَتْحِ اللَّامِ وَهُوَ كَمَا
قَالَ ابْنُ مَالِكٍ اسْمُ جَمْعٍ) لِعَالَمٍ (خَاصٍّ بِمَنْ يَعْقِلُ) مِنَ
الْمَلَائِكَةِ وَالْجِنِّ وَالْإِنْسِ (لَا جَمْعٌ وَمُفْرَدُهُ عَالَمٌ بِفَتْحِ
اللَّامِ) لِأَنَّهُ أَيِ الْعَالَمُ (اسْمٌ عَامٌّ لِمَا سِوَى اللَّهِ تَعَالَى
وَالْجَمْعُ) أَيِ الْعَالَمِينَ إِمَّا (خَاصٌّ بِمَنْ يَعْقِلُ) أَوْ عَامٌّ
لَهُمْ وَلِغَيْرِهِمْ، فَيَكُونُ أَخَصَّ مِنَ الْعَالَمِ أَوْ مُسَاوِيًا لَهُ،
وَشَأْنُ الْجَمْعِ أَنْ يَكُونَ أَعَمَّ مِنْ مُفْرَدِهِ لَا أَخَصَّ وَلَا
مُسَاوِيًا، وَالْعَالَمُ كَمَا يُطْلَقُ عَلَى جَمِيعِ مَا سِوَى اللَّهِ
يُطْلَقُ عَلَى كُلِّ نَوْعٍ بِخُصُوصِهِ، فَيُقَالُ عَالَمُ الْإِنْسَانِ
وَعَالَمُ الْمَلَائِكَةِ مَثَلًا، فَيَكُونُ أَخَصَّ مِنَ الْعَالَمِينَ
وَيَصِحُّ فِيهِ مَعْنَى الْجَمْعِيَّةِ بِهَذَا الِاعْتِبَارِ، لِأَنَّ
الْعَالَمِينَ يَعُمُّ أَنْوَاعَ الْعُقَلَاءِ وَغَيْرِهِمْ شُمُولًا،
وَالْعَالَمُ يُطْلَقُ عَلَى كُلِّ صِنْفٍ بِخُصُوصهِ، وَلَيْسَ جَمْعِيَّتُهُ
بِاعْتِبَارِ إِطْلَاقِهِ عَلَى مَا سِوَى اللَّهِ تَعَالَى جُمْلَةً لِظُهُورِ
اسْتِحَالَتِهِ فَيَبْطُلُ كَوْنُهُ اسْمَ جَمْعٍ أَيْضًا فَإِنَّ كُلًّا مِنَ
الْجَمْعِ، وَاسْمِهِ لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ أَعَمَّ مِنْ مُفْرَدِهِ،
فَالْجَمْعُ مِنْ بَابِ الْكُلِّيَّةِ وَاسْمُ الْجَمْعِ مِنْ بَابِ الْكُلِّ،
وَلِذَا فَرَّقُوا بَيْنَهُمَا بِأَنَّ الْجَمْعَ مَا دَلَّ عَلَى أَحَادِهِ
دَلَالَةَ تَكْرَارِ الْوَاحِدِ بِحَرْفِ الْعَطْفِ، فَإِذَا قُلْتَ: جَاءَ
الزَّيْدُونَ فَقَدْ حَكَمْتَ عَلَى كُلِّ فَرْدٍ فَرْدِ زَيْدٍ وَزَيْدٍ وَزَيْدٍ،
وَاسْمُ الْجَمْعِ مَا دَلَّ عَلَى مَجْمُوعِ الْآحَادِ دَلَالَةَ الْمُرَكَّبِ
عَلَى أَحَادِهِ، سَوَاءٌ كَانَ لَهُ وَاحِدٌ مِنْ لَفْظِهِ كَصَحْبٍ أَمْ لَا،
كَقَوْمٍ فَقَوْلُكَ جَاءَ الْقَوْمُ مَحْكُومٌ فِيهِ عَلَى الْهَيْئَةِ
الْمُجْتَمِعَةِ، لَا عَلَى الْأَفْرَادِ، فَظَهَرَ أَنَّ الْعَالَمِينَ جَمْعٌ،
وَالتَّحْقِيقُ أَنَّهُ مُسْتَوْفٍ لِشُرُوطِ جَمْعِ السَّلَامَةِ، لِأَنَّ
الْعَالَمَ فِي الْأَصْلِ اسْمٌ لِمَا يُعْلَمُ بِهِ الشَّيْءُ، ثُمَّ غُلِبَ اسْتِعْمَالُهُ
فِيمَا يُعْلَمُ بِهِ الصَّانِعُ، وَهُوَ كُلُّ مَا سِوَاهُ مِنَ الْجَوَاهِرِ
وَالْأَعْرَاضِ، فَإِنَّهَا لِإِمْكَانِهَا وَافْتِقَارِهَا إِلَى مُؤَثِّرٍ
وَاجِبٍ لِذَاتِهِ تَدُلُّ عَلَى وُجُودِهِ.
(Wahai Tuhan, pemilik semesta alam) yang mengumpulkan dan
memperbaiki mereka. (Dengan fathah huruf lam, dan sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu Malik, itu –lafadz al-‘aalamiin- adalah isim
jamak) dari lafadz ‘aalam -alam semesta- (khusus bagi yang berakal)
dari golongan malaikat, jin, dan manusia. (Bukan jamak, yang mufrad
-bentuk tunggal- nya adalah ‘aalam dengan fathah huruf lam)
karena ‘alam (adalah isim yang umum untuk segala sesuatu selain Allah
Swt. Jamaknya -lafadz tsb-) yaitu lafadz al-‘alamin bisa (khusus bagi
yang berakal) atau umum bagi mereka dan selain mereka, sehingga –al-‘alamin-
bisa lebih khusus daripada ‘alam atau setara dengannya. Padahal, -secara
teori,- jamak seharusnya lebih umum daripada bentuk mufrad –tunggal- nya,
bukan lebih khusus atau setara. Lafadz al-‘alam, sebagaimana digunakan
untuk semua yang selain Allah, juga digunakan untuk setiap jenis secara khusus,
sehingga dikatakan ‘alam al-insan -alam manusia- dan ‘alam al-malaikah
-alam malaikat- misalnya, sehingga lafadz al-‘alam lebih khusus daripada
al-‘alamin, dan -karena itu, maka bisa- berlaku pada lafadz al-‘alamin
makna jamak dengan pertimbangan ini, karena lafadz al-‘alamin mencakup
semua jenis makhluk yang berakal dan selainnya secara menyeluruh, sedangkan lafadz
al-‘alam digunakan –hanya- untuk setiap jenis secara khusus, dan –pengkategorisasian-
jamaknya lafadz al-‘alam bukan karena penggunaannya pada segala sesuatu
selain Allah secara keseluruhan, karena itu, jelas mustahil, sehingga -lafadz al-‘alam-
batal juga menjadi isim jamak. Karena setiap lafadz jamak dan isimnya harus
lebih umum daripada bentuk mufrad –tunggal-nya. Jamak termasuk dalam pembahasan
bab al-kulliyyah sedangkan isim jamak termasuk dalam pembahasan bab al-kulli.
Oleh karena itu, mereka -ulama ahli nahwu- membedakan antara keduanya –jamak
dan isim jamak- dengan mengatakan bahwa jamak adalah kata yang
menunjukkan pada satuan-satuannya dengan makna pengulangan satu satuan dengan
huruf athaf. Jadi, jika Anda mengatakan: جَاءَ الزَّيْدُونَ -Datanglah para Zaid-
Anda telah menetapkan pada setiap individu, yaitu –satu orang- Zaid dan Zaid –yang
lain- dan Zaid –yang lainnya lagi-. Sedangkan isim jamak adalah kata yang
menunjukkan pada kumpulan satuan-satuan dengan makna gabungan pada
satuan-satuannya, baik memiliki satu satuan dari segi lafaznya seperti صَحْب-sahabat-
atau tidak, seperti قَوْمٍ –kaum-.
Jadi, perkataanmu جَاءَ الْقَوْمُ -datanglah kaum-, pada perkataan tersebut bermakna keadaan
kelompok yang berkumpul, bukan pada individu masing-masing. Maka, jelaslah
bahwa al-‘alamin adalah jamak, dan sebenarnya ia –lafadz al-‘alam-
memenuhi syarat-syarat –dikategorisasikan- jamak salamah (jamak yang
bentuk tunggal dan jamaknya sama), karena al-‘alam pada asalnya adalah
nama untuk sesuatu yang dengannya sesuatu yang lain diketahui. Kemudian,
penggunaannya menjadi lebih umum untuk merujuk pada segala sesuatu yang
dengannya Allah Sang Pencipta diketahui, yaitu segala sesuatu selain-Nya, baik
itu jauhar –substansi, materi, sesuatu yang keberadaannya tidak
tergantung pada yang lain- maupun a’rad –aksiden, sifat, sifat yang
melekat pada jauhar, sifat yang datang kemudian-. Karena substansi dan
aksiden itu memiliki kemungkinan –imkan- dan membutuhkan penggerak –mu’atsir-
yang keberadaannya wajib karena dzat-Nya, maka keduanya (substansi dan aksiden)
menunjuk pada keberadaan-Nya.[1]
[1] Dalam pandangan filsafat Islam,
khususnya dalam tradisi teologi (kalam), konsep “alam” memiliki makna ganda.
Makna pertama adalah epistemologis, di mana “alam” adalah alat atau sarana yang
memungkinkan kita untuk memahami sesuatu yang lain. Ini bisa berupa panca
indera, akal, atau bahkan wahyu.
Makna kedua adalah ontologis, di mana “alam” merujuk pada
segala sesuatu yang ada selain Tuhan. Ini mencakup seluruh realitas yang kita
alami, baik yang bersifat materi (substansi) maupun yang bersifat non-materi
(aksiden). Substansi adalah entitas yang memiliki keberadaan mandiri, seperti
manusia, batu, atau pohon. Aksiden adalah kualitas atau atribut yang melekat
pada substansi, seperti warna, bentuk, atau gerakan.
Pandangan filsafat Islam menekankan bahwa alam semesta,
dengan segala keragaman dan kompleksitasnya, bukanlah entitas yang berdiri
sendiri atau kebetulan. Sebaliknya, ia adalah bukti atau tanda (ayat) akan
keberadaan dan kekuasaan Tuhan. Argumentasi ini sering disebut sebagai argumen
kosmologis, yang menyatakan bahwa keteraturan, keindahan, dan ketergantungan
sebab-akibat dalam alam semesta menunjukkan adanya Pencipta yang Maha Bijaksana
dan Maha Kuasa.
Dalam konteks ini, substansi dan aksiden, dengan segala
keterbatasan dan ketidaksempurnaannya, menjadi petunjuk akan keberadaan Tuhan
yang Mutlak dan Sempurna. Ketergantungan mereka pada penyebab pertama (Tuhan)
menunjukkan bahwa keberadaan mereka adalah mungkin (mungkin ada atau tidak ada)
dan bergantung pada sesuatu yang keberadaannya niscaya (wajib ada). Dengan kata
lain, keberadaan alam semesta adalah kontingen (bergantung pada sesuatu yang
lain), sedangkan keberadaan Tuhan adalah perlu (tidak bergantung pada apa pun).
Posting Komentar untuk "3# Terjemah Qut al-Habib al-Gharib - Tausyih ‘ala Fath al-Qarib al-Mujib Karya Imam Nawawi al-Bantani قوت الحبيب الغريب توشيح على فتح القريب المجيب شرح غاية التقريب لمحمد نووي بن عمر الجاوي البنتني"